Sekitar 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Demikian disampaikan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis 16 September 2021.
"Jangan terkecoh dengan kawasan Pantura saja, jangan
terkecoh dengan Jakarta saja, apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya,
inilah 115 pulau-pulau sedang dan kecil ini bisa tenggelam," kata Eddy.
Eddy berharap perhatian juga tertuju pada pulau-pulau sedang
dan kecil di Indonesia seperti daerah wisata termasuk Bali dan Nias dan
pulau-pulau lain. Termasuk di sepanjang pantai barat Sumatera yang juga
terancam tenggelam, sehingga tidak hanya terpaku pada persoalan terancamnya
Jakarta atau kota pesisir di Pantai Utara Jawa saja.
"Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil
juga terancam," tuturnya.
Menurut Eddy, kenaikan air laut tersebut disebabkan
perubahan iklim dan penurunan muka tanah sehingga perlu kombinasi upaya
mitigasi dan adaptasi ke depannya agar tidak kehilangan pulau-pulau tersebut.
Namun begitu, kepada Liputan6.com dia mengatakan
publik tidak usah merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Khususnya terkait
besaran angka kenaikan air muka laut yang sebenarnya lebih kecil dari angka
yang banyak dirilis berbagai lembaga. Apalagi jika merujuk pada laporan dari
International Panel Climate Change (IPCC), badan resmi dunia yang bertangung
jawab tentang perubahan iklim.
"Kalau melihat dari angka yang secara global pun kecil.
Bahkan, 2030 di mana (Presiden AS) Joe Biden mengatakan hal itu relatif kecil.
Saya menghitung hanya 25 cm di 2050, jadi 2030 tentu lebih kecil lagi kenaikan
air muka lautnya," jelas Eddy, Jumat (17/9/2021) petang.
Dia mengatakan, ada media yang mengabarkan bahwa kenaikan
air muka laut di pesisir Jakarta bisa mencapai empat meter pada 2030. Hal itu
terlalu ekstrim dan berbahaya, karena jika ada bias pun mungkin hanya sampai 50
cm, tidak sampai hitungan meter.
"Jadi model dari mana angka meter itu? Logika saja,
perjalanan es mencair dari Kutub ke Jakarta berapa lama? Kalau memang es
mencair karena memang emisi CO2 naik, pasti negara-negara Skandinavia seperti
Denmark dan Belgia habis duluan, nggak usah jauh-jauh, Singapura juga,"
tegas Eddy.
Yang jelas, lanjut dia, perubahan iklim memang terjadi, kita
tak bisa menghentikan. Tapi bisa menghambatnya dengan mengantisipasi emisi CO2
itu dengan menguranginya. Karena kalau menihilkam susah, sementara tiap hari
orang naik mobil dan tiap pembakaran karbon menghasilkan CO2. Negara-negara
penghasil minyak juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, kebakaran hutan
juga. Karena tiap yang dibakar menghasilkan emisi.
"Memang ada keinginan untuk menghapus dampak itu
menjadi nol, misalnya dengan menghadirkan teknologi mobil listrik. Tapi
mobilnya belum siap pakai, stasiun pengisiannya belum ada. Mau pakai gas juga
infrastrukturnya juga belum support," jelas Eddy.
Jadi, lanjut dia, tidak bijak juga jika dikatakan perubahan
iklim melulu soal ulah manusia, karena juga ada pengaruh alamiah. Seperti
aktivitas matahari yang mencapai puncak panasnya yang berimbas ke es di kutub.
"Manusia bukan faktor utamanya, tapi manusia yang
memperparahnya. Selama kita manusia tidak tanggung jawab dengan apa yang sudah
diperbuat maka akan sulit. Di sisi lain, ini terkait dengan sumber penghidupan
mereka. Misal membuka lahan untuk bertani dengan cara membakar, jadi dilematis
juga," ujar Eddy.
Dia pun menyarankan pemerintah menyediakan mata pencaharian
yang aktivitas sehari-harinya tidak memicu kerusakan alam agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu untuk hidup tanpa harus merusak lingkungan.
"Jadi menurut hemat saya, untuk mengantisipasi agar air
muka laut tak semakin parah, coba bangun mangrove di sepanjang Pantura. Hal itu
sudah dilakukan tapi belum merata, kemudian juga penghijauan juga ditingkatkan
untuk mengurangi emisi tadi," pungkas Eddy.
Infografis 115 Pulau di Indonesia Terancam Tenggelam.
(Liputan6.com/Trieyasni) |
Sementara itu, Project Officer Keadilan Iklim Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Abdul Ghofar mengatakan pihaknya
tidak kaget dengan data yang dilansir BRIN.
"Walhi Sumsel dalam Laporan Tahunan 2019,
salah satunya menyebutkan empat pulau di Sumsel sudah dinyatakan hilang.
Demikian pula ketika isu dampak krisis iklim ramai kembali waktu (Presiden AS)
Joe Biden bilang Jakarta merupakan salah satu kota yang akan tenggelam.
Faktanya, tidak hanya pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan wilayah utara
Pulau Jawa sama rentannya dengan Jakarta," ujar Abdul kepada Liputan6.com,
Jumat petang.
Dia mengatakan, angka penurunan permukaan tanah di lokasi
tersebut lebih cepat dibandingkan Jakarta, selaras dengan kenaikan air laut
sebagai dampak krisis iklim. Berikutnya pulau-pulau kecil, yang rentan karena
eksposenya memang agak minim karena bukan merupakan kawasan padat penduduk.
"Kalau melihat datanya, semua itu memang dampak dari
perubahan iklim ya, kalau soal adanya ulah manusia di situ, baik yang tinggal
di wilayah pulau atau dalam wilayah yang lebih besar, saya pikir kalau melihat
kausalitasnya memang berkaitan erat dengan aktivitas manusia," tegas
Abdul.
Dia mengatakan, Intergovernmental Panel Climate Change
(IPCC) pada bulan Agustus 2021 merilis laporan yang menyatakan bahwa aktivitas
manusia, mulai dari industri tranposrtasi, deforestasi untuk alih fungsi
kawasan perkebunan dan pertanian, maupun permukiman telah menjadi penyebab
krisis iklim saat ini.
"Jadi human activity adalah faktor utama terjadinya
krisis iklim. Tetapi kalau mau dilihat di skala lebih kecil, keterancaman
pulau-pulau kecil itu dampak dari aktivitas manusia di sekutar pulau itu sangat
minimalis, paling soal perubahan fungsi kawasan, seperti mangrove sebagai
benteng alami pesisir berubah fungsi, misalnya untuk tambak," jelas Abdul.
Ketika ditanyakan sampai kapan pulau-pulau itu bisa
bertahan, dia mengatakan Walhi daerah umumnya menggunakan permodelan satelit,
seperti Walhi Sumsel yang mengukur hilangnya pulau-pulau kecil.
Sementara lembaga Climate Center membuat permodelan dengan
tiga skenario, pertama skenario paling buruk, moderat, dan yang bagus. Kalau
diambil skala moderat, mereka memproyeksikan kenaikan hingga tahun 2100 sekitar
0,4 meter atau 40 cm.
"Memang terlihat tidak tinggi, tapi jalau kita melihat
kawasan permukiman di Indonesia itu sebagian besar wilayah pesisir yang hari
ini sudah mengalami dampak signifikan, Pekalongan itu sudah terdampak parah,
Jakarta Utara parah, Demak parah, Semarang parah, apalagi nanti kalau menunggu
tahun 2050 atau 2100, dampaknya akan banyak pengungsi," ujar Abdul.
Menurut dia, ada dua langkah yang harus dilakukan pemerintah
pusat untuk mencegah krisis ini terjadi. Pertama, pengurangan emisi karbon itu
harus signifikan dilakukan, karena rencana pengurangan emisi Indonesia itu
kurang ambisius dan kurang serius. Jadi pemerintah harus segera mengeluarkan
kebijakan yang lebih serius dan ambisus untuk pengurangan emisi di semua
sektor.
"Berikutnya transisi energi, kita tahu lebih dari 50
persen pembangkit listrik kita itu didominasi energi kotor terutama yang
bersumber dari batubara. Nah, dorongan untuk melakukan penghentian operasj PLTU
Batubara hatus dipercepat. Apalagi tren global banyak yang sudah bertransisi,
PLTU sudah lama dipensiunkan, mulai mengejar enegeri baru terbarukan,"
jelas Abdul.
Sementara dalam skala lokal, lanjut dia, ada upaya untuk
melakukan adaptasi dan mitigasi, salah satunya melakukan pendekatan di kawasan
ekosistem mangrove sebagai benteng alami pertahanan dari ombak harus
diperbanyak. Pemerintah bisa membantu untuk membiayai pembibitan dan
pemeliharaan benteng alami yang sudah diinisiasi masyarakat.
"Jadi, alih fungsi lahan di mangrove itu harus dicegah,
karena banyak praktik terutama di pesisir utara Pulau Jawa, kawasan ekosistem
mangrove itu dialihfungsikan jadi kawasan industri, seperti di Kendal dekat
Semarang," pungkas Abdul.
No comments:
Post a Comment