Unsplash.com/Jonathan Ford |
Jakarta - Badan Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan bahwa
bencana alam yang terkait dengan cuaca di seluruh dunia naik lima kali lipat
dalam 50 tahun terakhir. Namun, meskipun begitu, korban jiwa akibat badai,
banjir, dan kekeringan turun secara tajam.
Menurut para ilmuwan, walaupun bencana akibat cuaca yang lebih ekstrem
mengalami kenaikan, pelaporan dan perbaikan sistem peringatan membantu
mengurangi angka kematian.
Dalam 50 tahun, antara tahun 1970 dan 2019, terdapat lebih dari 11.000 bencana
terkait cuaca. Hal ini berdasarkan pemetaan terbaru dari WMO yang mendata skala
seluruh peristiwa ekstrem yang terjadi.
Lebih dari dua juta orang meninggal dunia karena bencana alam yang diakibatkan
oleh perubahan iklim. Selain itu, kerugian ekonomi karena bencana alam ini pun
mencapai US$ 46 triliun atau setara dengan Rp 51.000 triliun.
“Jumlah bencana akibat cuaca ektrem akan terus naik, akan lebih sering terjadi,
dan akan lebih parah di banyak bagian di dunia karena perubahan iklim,” tutur
Prof. Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO, dilansir dari BBC, Minggu
(12/9).
Menurutnya, berarti akan ada lebih banyak gelombang panas, bencana kekeringan,
dan juga kebakaran hutan yang akhir-akhir ini kita lihat di negara-negara Eropa
dan Amerika Utara.
“Ada banyak uap air di atmosfer yang memperburuk curah hujan ekstrem juga
banjir bandang. Pemanasan suhu lautan telah mempengaruhi frekuensi dan area
terjadinya badai tropis yang intens,” imbuhnya.
Bencana yang terkait dengan cuaca ini akan sangat berdampak bagi negara-negara
berkembang. Lebih dari 90 persen kematian yang terkait dengan bencana cuaca
berada di negara berkembang.
Korban tewas terbanyak akibat bencana banjir merenggut 650.000 nyawa. Sementara
itu, korban paling sedikit akibat cuaca ekstrem merenggut hampir 56.000 jiwa.(awy/ito)
No comments:
Post a Comment