Investasi pembangkit tenaga nuklir dapat gagalkan
tercapainya target perubahan iklim |
Berbagai pilihan teknologi rendah karbon dapat menjadi opsi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di antaranya energi terbarukan, Carbon Capture and Storage/ Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), bahkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Namun pemerintah perlu mempertimbangkannya secara matang
sebab masing-masing teknologi mempunyai karakter dan tingkat risiko yang
berbeda.
Ditinjau dari segi perkembangannya di dunia, Mycle
Schneider, seorang analis independen kebijakan dan energi nuklir, dalam
paparannya mengatakan bahwa perkembangan PLTN stagnan dalam sepuluh tahun
terakhir, berbanding jauh dengan energi terbarukan yang justru meningkat pesat.
Ia mencontohkan bahwa di Prancis, bauran listrik dari nuklir
mencapai rekor terendahnya pada tahun 2020 selama 30 tahun terakhir. Adanya
opsi pembangkitan energi baru terbarukan (EBT) yang lebih murah menjadi
penyebabnya.
“Berinvestasi pada PLTN bahkan dapat menggagalkan
tercapainya target perubahan iklim karena seharusnya pendanaan yang ada
dialokasikan kepada opsi teknologi yang sudah tersedia, murah, dan dapat
diimplementasikan dengan cepat,” jelas Schneider pada hari kedua Indonesia
Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia
Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR),
Selasa (21/9).
Senada dengan Schneider, Craig Morris, Konsultan Independen
Transisi Energi mengatakan bahwa sulit untuk memprediksi harga listrik dari
PLTN mengingat PLTN tidak terlalu merespon harga pasar.
“Jika kita kembali ke tahun 2000 dan memproyeksikan
pengembangan energi di tahun 2050, maka kita sudah berada di tahun 2050 dengan
mengandalkan energi terbarukan dan penyimpanan energi. Namun kita memutuskan
untuk menggunakan nuklir dan CCS, maka kita akan kembali ke tahun 2000,” tutur
Morris.
Selain itu, penggunaan teknologi CCS//CCUS menjadi salah
satu strategi global untuk menekan emisi karbon. Samantha McCulloch, Head of Carbon
Capture Utilization and Storage Technology, International Energy Agency
mengatakan CCS/CCUS dapat menjadi salah satu solusi di Asia Tenggara untuk
memperbaiki infrastruktur energi yang ada di kawasan.
Meskipun demikian, energi terbarukan akan menjadi pilihan
utama dalam melakukan dekarbonisasi dalam waktu dekat. Sementara pengembangan
CCS/CCUS akan berperan untuk menghindari penguncian (lock in) emisi
akibat infrastruktur yang baru dibangun dan memungkinkan opsi mitigasi emisi di
masa depan.
Peluang lain untuk CCUS di wilayah ASEAN adalah seputar
produksi hidrogen rendah karbon dari gas dan CCUS. Saat ini, opsi tersebut
dapat lebih murah dibandingkan produksi hidrogen menggunakan elektrolisis air
di lokasi produksi gas alam yang bisa menjadi storage karbon di saat yang
bersamaan.
Keekonomian opsi ini perlu tetap memperhatikan potensi
produksi hidrogen menggunakan elektrolisis yang juga diekspektasikan mengalami
penurunan harga signifikan dalam beberapa tahun ke depan
Mempunyai pandangan yang serupa dengan Samantha, Rachmat
Sule, Dosen Senior Fakultas Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan,
Institut Teknologi Bandung (ITB) memandang pengembangan CCUS dapat membantu
penurunan emisi, seperti pada PLTU batubara yang berdekatan dengan lapangan migas.
Namun ada keterbatasan dalam pengembangannya, agar bisa
lebih ekonomis maka selayaknya lokasi sumber emisi (source) dan lokasi
tampungan (sink) mesti berdekatan.
Selain itu, perlu penerapan strategi lainnya seperti hub
clustering atau menggunakan infrastruktur dukungan CCUS seperti pipa gas
bersama-sama untuk menekan biaya CAPEX.
Di kesempatan yang berbeda, Deon Arinaldo, Program Manager
Transformasi Energi, IESR mendorong untuk lebih memprioritaskan teknologi
energi terbarukan untuk melakukan dekarbonisasi mendalam di sektor energi.
“Upaya dekarbonisasi sektor energi perlu terjadi dengan
cepat dan dimulai sekarang juga agar sesuai dengan Persetujuan Paris. Di
Indonesia sendiri, teknologi rendah karbon yang sudah siap secara komersial dan
cepat dibangun adalah energi terbarukan, sedangkan teknologi yang lain seperti
PLTN dan CCS masih dalam tahap pengembangan dan pilot. Waktu yang kita punya
tidak banyak untuk memitigasi krisis iklim ini,” tegasnya.
Menyikapi ragam teknologi rendah karbon dalam kerangka
energi baru dan terbarukan, Zaki Su’ud dari Fakultas Matematika dan Sains
Institut Teknologi Bandung (ITB) merekomendasikan beberapa kebijakan yang perlu
dilakukan pemerintah untuk mendukung tercapainya target dekarbonisasi Indonesia
pada 2060 atau lebih cepat.
Pertama, semua sumber daya energi harus dimanfaatkan secara
optimal dengan mengutamakan kualitas dan keamanan energi di Indonesia.
Kedua, kebijakan bauran energi harus dilaksanakan dan
dievaluasi dengan baik terhadap ketersediaan energi yang andal, murah,
berkelanjutan, dan harus mematuhi isu lingkungan global khususnya
perubahan iklim.
Ketiga, pemerintah perlu mengalokasikan dana penelitian
terkait EBT yang cukup serta mengintegrasikan secara optimal seluruh elemen
potensial EBT Indonesia.
“Energi baru terbarukan masih terus berkembang dan
membutuhkan kebijakan yang tepat dan konsisten dari pemerintah supaya bisa
mendukung keamanan energi nasional dan tercapainya target dekarbonisasi
Indonesia,” jelas Zaki pada IETD 2021.
Sumber: https://industri.kontan.co.id/news/investasi-pembangkit-tenaga-nuklir-dapat-gagalkan-tercapainya-target-perubahan-iklim
No comments:
Post a Comment