Warga menyelamatkan barang dari banjir di Desa Wanoamonapa,
Kecamatan Pondidaha, Konawe, Sulawesi Tenggara, Sabtu (21/8/2021). Antara
Foto/ Jojon |
Dengan 324 zona musim, kasus banjir, dan longsor bisa
terjadi sepanjang tahun. Pemerintah terus menguatkan indeks ketahanan daerah
(IKD) untuk mengurangi risiko kebencanaan.
Banjir melanda Desa
Landikanusuang dan Rappang Barat di Kecamatan Mapilli, Polowali Mandar,
Sulawesi Barat (Sulbar), Sabtu (4/9/21) petang. Hujan dengan intensitas tinggi
sejak siang telah membuat debit Sungai Andau, Kanusuang, dan Salu Kadundung
meningkat cepat dan air meluap menggenangi area rendah di dua desa itu.
Genangan terdalam mencapai 100 cm.
Tak ada korban jiwa. Namun,
dilaporkan ada kerusakan pada dua unit jembatan gantung, 21 hektare kebun
kakao, dan 100 hektare sawah. Genangan juga cepat surut, sehingga warga dapat
bergotong-royong dengan petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Polowali Mandar dan aparat TNI-Polri untuk membersihkan lumpur dan sampah
banjir yang bertumpuk di jalan-jalan, tempat ibadah, dan fasilitas umum
di lingkungan desa. Senin pagi, situasi sudah beranjak normal.
Persis sehari sebelumnya, banjir
juga melanda dua desa di Kecamatan Kulaku, Kabupaten Mamuju, Sulbar. Hujan yang
turun hampir semalaman membuat air Sungai Kulaku meluap dan menggenangi
sebagian permukiman di kedua desa. Sekitar 100 rumah terendam. Tak ada korban
jiwa, dan tingkat kerusakan terbatas.
Di tengah kering kemarau yang
kini memanggang 85 persen dari 342 zona musim di Indonesia, kasus banjir dan
tanah longsor masih mewarnai peristiwa kebencanaan di tanah air. Di luar dua
kejadian banjir di Polowali Mandar dan Mamuju, bencana serupa terjadi di
Mandailing Natal, Sumatra Utara, 18 Agustus; Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 23
Agustus 2021; dan Kampar Hulu, Riau, 3 September 2021. Banjir lainnya juga
tercatat merendam dua desa di Kecamatan Panca Lautang dan Due Pitue di
Sidenreng Rappang, Sulsel. Genangannya tidak terlalu berat.
Namun yang mengagetkan banjir,
longsor, dan puting beliung itu juga terjadi di Sampolawa, Buton Barat,
Sulawesi Tenggara, pada 28 Agustus 2021. Bahkan, dini hari Sabtu, 4 September
2021, banjir bandang dan longsor menerjang Kampung Malapedho, Kecamatan
Ingerie, Kabupaten Ngada, Flores, NTT. Di Kampung Malapedho itu sebanyak lima
rumah warga ambruk dihantam tanah longsor dan satu lainnya tertimbun. Dua orang
ditemukan tewas dan satu lainnya masih hilang.
Buton Barat dan Ngada dilanda
banjir bandang justru ketika wilayah sekelilingnya kering kerontang. Di
sejumlah daerah pesisir Selatan Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menjalani periode tanpa hujan selama lebih dari
60 hari. Sedikit di luar Kota Kupang, ibu kota NTT, bahkan ada yang area yang
sudah lima bulan tak menerima setetes pun air hujan.
Efek Gelombang Rossby
Evaluasi Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, hujan lebat yang jatuh di Buton
Barat itu akibat pengaruh gelombang equatorial Rossby, yakni angin basah yang
berembus dari Samudra Hindia ke arah timur, menyusuri sepanjang khatulistiwa
dan melewati Indonesia dan menghilang setelah menyentuh bibir Pasifik. Di
Buton, angin lokal dan topografi setempat berhasil membelokkan gelombang Rossby
itu sehingga naik dan membentuk awan tebal dan matang. Hujan pun turun.
Uap air yang terbawa arus
gelombang Rossby itulah yang berinteraksi dengan kondisi lokal, dapat
menciptakan awal hujan. Fenomena itu pula yang menyebabkan terjadinya hujan
lebat dan banjir di Mandailing Natal (Sumut), Kampar Hulu (Riau), Kapuas Hulu
(Kalbar), Polewali Mandar, Mamuju, serta Sidenreng.
Untuk kasus banjir dan longsor di
Ngada, Flores, BMKG belum mengeluarkan evaluasi resmi. Namun, melihat gelombang
Rossby yang bisa menjangkau koridor 10 derajat lintang utara hingga 10 lintang
selatan, tidak mustahil dia pula yang menjadi pemicunya. Meski bukan faktor
dominan, gelombang Rossby adalah unsur iklim yang penting bagi indonesia.
Pengendali utama arus iklim
Indonesia ialah angin monsun basah, yang secara reguler bertiup dari daratan
Asia ke Australia pada musim dingin di Utara (Oktober--April), dan sebaliknya
angin kering yang bertiup dari Australia ke daratan Asia pada April–Oktober.
Faktor kedua adalah efek La Nina yang berasal dari Samudra Pasifik. Bila La
Nina datang, Indonesia lebih basah.
Faktor berikutnya yang bersifat
regional seperti tekanan udara di atas Laut Natuna Utara dan faktor lokal
seperti bentuk topografi dan pengaruh laut. Semua itu membentuk pola Indonesia
yang khas, yang terbagi ke dalam 342 zona musim hujan.
Region musim
Dari 342 zona musim itu bisa
dikelompokkan ke dalam tiga region musim, yakni A, B, dan C. Region A itu
disebut juga Region Monsunal, dengan sifat hujannya yang dipengaruhi angin
monsunal, dengan puncak musim hujan pada Desember-Januari. Yang tergolong
region ini adalah sebagian Jambi, Sumatra Selatan, sebagian Bengkulu, Lampung,
Jawa-Madura, Bali, NTB, dan NTT.
Reginal B disebut juga zona
equatorial. Ia memiliki dua puncak musim hujan, yakni pada November--Desember
dan Apri--Mei. Sedangkan Zona C berkebalikan dengan Zona A, karena puncak curah
hujan jatuh pada Juni-Juli-Agustus. Yang termasuk Region B adalah Aceh, Sumatra
Utara, sebagian Sumbar-Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan sebagian
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan sebagian Sulawesi
Tenggara. Sedangkan yang masuk Region C adalah Maluku, Maluku Utara, dan
sebagian Papua Barat.
Ancaman Banjir-Longsor
Sampai 6 September, bencana alam
di Indonesia telah tercatat ada 1.760 kasus, dengan 58 persen berupa banjir
dan/atau longsor. Pada 2020, tercatat ada 4.886 kasus bencana alam dan terlihat
bahwa tren dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2019, tercatat 3.875 kasus
dan pada 2018 tercatat 3.522 kasus bencana alam. Bencana hidometeorologi,
terutama banjir dan longsor, juga terus bertambah seiring makin kerasnya
fenomena perubahan iklim.
Melaksanakan UU nomor 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah berupaya terus meningkatkan
kemampuan penanggulangan bencana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
terus dioptimalkan perannya sebagai ujung tombak untuk meningkatkan indeks
ketahanan daerah (IKD). Bekerja sama antarkementerian/lembaga, IKD di semua
daerah terus ditingkatkan. Faktanya, dari 514 kabupaten-kota, tak satu pun yang
bebas dari daerah rawan bencana.
Pengembangan IKD dilakukan sejak
2014 dengan leading sector-nya BNPB. Dengan dukungan BNPB, semua daerah
membuat kajian dan pemetaan risiko bencana, pengembangan tata ruang terkait
peta kebencanaan, penguatan kebijakan dan kelembagaan pada semua daerah,
sistem informasi, pengembangan mitigasi bencana, kesiapan tanggap
darurat, serta penyiapan sistem pemulihan bencana.
Output-nya dinyatakan, antara
lain, dengan pemetaan gedung sekolah yang aman bencana, fasilitas kesehatan
aman bencana, desa tangguh bencana, pelatihan kebencanaan dan seterusnya.
Hasilnya dievaluasi secara reguler. Beberapa daerah yang oleh BNPB dinilai
memiliki IKD tinggi, antara lain, Kota Magelang, Kabupaten Cilacap, dan
Kabupaten Sleman.
Sumber : https://www.indonesia.go.id/kategori/budaya/3211/mengurangi-risiko-bencana-banjir-dan-longsor
No comments:
Post a Comment