Mobil listrik. (Foto: Antara) |
Mobil listrik (electric vehicle/EV) dan sepeda motor listrik
menjadi senjata andalan subsektor transportasi untuk menurunkan emisi karbon
sebesar 29% pada 2030. Sebab, EV sudah terbukti mampu mengurangi emisi karbon
dari kendaraan.
Indonesia telah menandatangani Paris Agreement pada 2015,
yang merupakan kesepakatan global untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) agar
pada abad ini suhu bumi tidak meningkat lebih dari 1,5%. Perjanjian itu
kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Setiap negara penandatangan Paris Agreement wajib
menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi
langkah-langkah penurunan emisi GRK masing-masing. Dalam NDC Tahap I
(2020-2030), Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29% secara
mandiri atau 41% jika mendapat bantuan internasional. Indonesia juga
mencanangkan net zero emission paling lambat pada 2060.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi
dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek
Bawazier, mengatakan target penurunan emisi karbon sebesar 29% pada 2030 adalah
tugas bersama dan semua sektor ekonomi, termasuk sektor industri. Adapun
subsektor transportasi juga memberikan peran strategis.
“Pengembangan EV harus dibarengi pasokan listrik dari
pembangkit energi terbarukan (renewable), sebagai sumber pengecasan untuk EV,”
kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, konsep well to wheel saat ini harus
diiringi dengan pergerakan di hulu, yakni pembangkit listrik ramah lingkungan.
Jika pembangkit masih memakai sumber energi fosil, itu sama saja hanya
memindahkan emisi di hilir ke hulu. "Kata kuncinya adalah pengurangan
emisi karbon harus di semua sektor, bukan hanya kendaraan bermotor melalui
EV," ucap Taufiek.
Dia menjelaskan, harga mobil listrik tergantung dari harga
baterai. Semakin murah harga baterai per US$/Kwh diharapkan dapat menurunkan
harga kendaraan listrik. Kalau dari mobil pembakaran internal (internal
combustion engine/ICE) ke hybrid, porsi harga baterai 20%, sedangkan EV
alias battery electric vehicle (BEV) mencapai 60% dari total biaya
produksi. "Baterai juga menjadi kunci EV untuk mobil bikinan pabrikan
manapun," kata Taufiek.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat
Pertahanan Kemenperin Sony Sulaksono beberapa waktu silam mengatakan, tantangan
terbesar Indonesia untuk mewujudkan ekosistem EV adalah produksi baterai. Meski
Indonesia saat ini memiliki cadangan nikel besar, ke depan, harus tetap
mempersiapkan alternatif pengembangan baterai jenis baru yang tidak mengandung
nikel.
“Sebab, jika nikel terus dikeruk, lama-lama akan habis.
Jadi, kita harus siap dengan tren-tren baru yang tidak hanya berbasis nikel,”
kata Sony.
Selain itu, dia menerangkan, untuk mewujudkan ekosistem kendaraan listrik di
Indonesia, dia meminta, para produsen baterai untuk dapat lebih memprioritaskan
produksi untuk pembuatan kendaraan listrik, bukan kepentingan lain.
Pemerintah sudah memiliki peta jalan pengembangan
kendaraan listrik di Indonesia hingga 2035.
Pemerintah, kata dia, menargetkan produksi EV mencapai 400
ribu unit mulai 2025, 600 ribu unit per tahun pada 2030, kemudian 1 juta unit
per tahun pada 2035. Adapun penurunan emisi gas buang pada 2035 ditargetkan
sebesar 4,6 juta ton karbondioksida.
Sementara itu, dia melanjutkan, target produksi sepeda
motor listrik mencapai 1,76 juta unit per tahun mulai 2025, 2,45 juta
unit per tahun mulai 2030, kemudian 3,22 juta unit per tahun mulai 2035.
Penurunan emisi gas buang dari sektor kendaraan roda dua pada 2035 ditargetkan
sebesar 1,4 juta ton CO2.
“Kami sangat mendorong untuk dapat segera merealisasikan target-target ini.
Kami juga mencoba membangun ekosistemnya, karena yang paling penting adalah
membangun ekosistem terlebih dahulu dan ini akan melibatkan banyak pihak,” kata
Sony.
Selain itu, dia menerangkan, untuk mendorong industrialisasi
kendaraan listrik, pemerintah juga memberikan berbagai insentif fiskal dan
non fiskal. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak sudah memberikan
sejumlah insentif bagi kendaraan listrik dan ramah lingkungan,
seperti pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar 0%, pajak atas
penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 0% di Jakarta dan sebesar
10% untuk mobil listrik, serta 2,5% untuk sepeda
motor listrik di Pemprov Jawa Barat.
Kemudian, uang muka minimum 0% dan pembebasan aturan ganjil
genap di Jakarta. Sementara itu, insentif bagi produsen
kendaraan listrik maupun komponen tak kalah beragam, mulai dari mini
tax holiday, tax holiday, dan super tax deduction.
Pemerintah telah merilis Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang
Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk
Transportasi Jalan. Ini diperkuat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27
Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Tingkat
Kandungan Lokal sebagai peta jalan pengembangan BEV. Indonesia menargetkan
mengembangkan industri komponen utama EV, yaitu baterai, motor listrik, dan
inverter.
Meski begitu, pengembangan ekosistem EV di Indonesia
memiliki banyak tantangan. Salah satunya adalah harga EV yang masih mahal. Saat
ini, harga EV termurah yang dijual anggota Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesa berkisar Rp 500-600 jutaan. Padahal, segmen mobil terlaris di
Indonesia adalah kendaraan berbanderol Rp 250-300 jutaan. Adapun porsi mobil
konvensional seharga Rp 500-600 jutaan kurang dari 1%.
Itu sebabnya, lokalisasi baterai EV bisa menjadi kunci untuk
menurunkan harga EV. Akan tetapi, hal ini masih tergantung dari kebijakan
pemanufaktur baterai dan tren harga bahan baku.
Daya jelajah EV yang terbatas juga menjadi tantangan. Selain
itu, proses pengecasan baterai EV memakan waktu berjam-jam sebelum mencapai
100%. Ini belum menghitung masih minimnya stasiun pengisian kendaraan listrik
umum (SPKLU) di Indonesia.
Pada titik ini, pemerintah diminta jangan hanya fokus
mengembangkan EV, melainkan juga pilihan mobil elektrifikasi lain,
seperti hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid
electric vehicle (PHEV). Sebab, mobil hybrid lebih praktis,
karena masih bisa melaju ketika daya baterai habis. Ketika itu terjadi, mesin
pembakaran internal PHEV akan bertugas memutar roda, sedangkan untuk HEV, mesin
konvensional menggerakkan roda sambil mengisi daya baterai.
Target 2025
Sementara itu, Sekjen Gaikindo Kukuh Kumara menuturkan,
pandemi Covid-19 membuat pengembangan EV di Indonesia jauh dari harapan.
Imbasnya, target produksi EV versi pemerintah sebanyak 400 ribu unit pada 2025
kemungkinan besar kandas.
Seiring dengan itu, dia menuturkan, pemerintah perlu
terlebih dahulu fokus mengembangkan industri baterai EV di dalam negeri. Sebab,
komponen ini berperan besar di EV, karena menyumbangkan 50% lebih harga jual.
Kukuh menerangkan, target itu dibuat pemerintah sebelum pandemi Covid-19.
Adapun saat ini, penjualan mobil konvensional atau mesin pembakaran dalam (internal
combustion engine/ICE) saja belum sepenuhnya pulih. Sebelum pandemi, dia
menuturkan, penjualan mobil mencapai 1 juta unit lebih. Namun, begitu pandemi
berkecamuk pada 2020, penjualan mobil langsung turun 50% menjadi 530 ribu unit.
Memasuki 2021, dia menuturkan, penjualan mobil membaik,
ditopang pemulihan ekonomi dan insentif pajak penjualan atas barang mewah
ditanggung pemerintah (PPnBM-DTP). Per Juli 2021, penjualan mobil tumbuh 60%
menjadi 460 ribu unit. Gaikindo mematok target penjualan mobil 2021 sebanyak
750 ribu unit, masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Dengan rata-rata
penjualan bulanan 60 ribu unit hingga akhir tahun, target itu diprediksi
tercapai. Kukuh melanjutkan, selain itu, kemampuan masyarakat menjadi faktor
penentu, apakah mau membeli mobil listrik atau tidak. Dia menilai, mungkin
pembangunan infrastruktur EV seperti SPKLU bisa dikebut. Namun, tetap saja
dibutuhkan waktu untuk berkembang.
Kukuh mencontohkan, peralihan transmisi mobil dari manual ke
otomatis saja membutuhkan waktu 10 tahun lebih agar masyarakat memahami lebih
enak memakai transmisi otomatis daripada manual. “Jadi, target itu bisa mundur,
karena ada pandemi. Kita saja yang existing masih berat,” ucap Kukuh
kepada Investor Daily.
Dia menyadari, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas buang dan
mobil listrik menjadi salah satu sarana untuk mencapai itu. Adapun
cara lainnya adalah implementasi standar emisi Euro 4 yang lebih konsisten.
Tahun depan, dia menuturkan, kendaraan diesel menggunakan
Euro 4. Kemudian, secara bertahap mulai memperkenalkan mobil hybrid yang
bisa menjadi jembatan ke BEV. “Masyarakat juga perlu terbiasa dahulu. Kalau
pakai mobil hybrid, ketika baterai habis, masih bisa pakai mesin
bensin untuk menggerakkan roda. Itu kacamata konsumen,” ucap Kukuh.
Dia menilai, Hyundai dan Toyota serius menggarap mobil elektrifikasi di dalam
negeri untuk mengambil kesempatan. Sebab, regulasi pemerintah memungkinkan
untuk membuat EV. “Hyundai sudah menyiapkan fasilitas pabrik di sini, mau
produksi, mudah-mudahan pada 2022 jalan. Kemudian, Toyota berencana
melokalisasi mobil hybrid, mungkin nanti yang lain mengikuti,” ucap Kukuh.
Namun, dia menuturkan, bila dilihat dari pasar, penjualan EV masih di bawah
1.000 unit setahun. Sebab, harganya masih relatif mahal untuk kantong orang
Indonesia. Berdasarkan data Gaikindo, tahun lalu, total penjualan
mobil listrik mencapai 120 unit, sedangkan Januari-Juni 2021 memang
meningkat menjadi 488 unit. Jumlah itu jauh di bawah mobil hybrid yang
mencapai 1.300.
Kukuh menerangkan, dalam banyak kesempatan, Gaikindo selalu
menyampaikan, pasar mobil di Indonesia paling banyak diisi model dengan harga
di bawah Rp 250 juta. Sementara itu, mobil listrik termurah berkisar Rp 500-600
juta. Mobil konvensional dengan harga segitu saja populasinya tidak sampai 1%.
“Kalau kita bicara industri, pasti pabrikan menghitung
masalah volume. Nah, kalau pasarnya hanya puluhan, lebih baik mendatangkan
dalam bentuk utuh (completely built up/CBU), karena lebih hemat,” ujar dia.
Kukuh menjelaskan, kebanyakan mobil listrik masih diproduksi di
tempat prinsipalnya, yakni Jerman, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan (Korsel),
dan Amerika Serikat (AS). Bahkan, Australia yang pasar mobilnya kurang lebih
sama dengan Indonesia, 1,2-1,3 juta unit setahun, penjualan
mobil listrik hanya 16 ribu setahun. Padahal, berdasarkan data Bank
Dunia, pendapatan per kapita Australia cukup tinggi, sebesar US$ 52 ribu
setahun. Adapun pendapatan per kapita Indonesia pada 2020 mencapai US$ 3.870.
Kukuh menyarankan, lebih baik pemerintah fokus mengembangkan baterai EV
terlebih dahulu. Kalau baterai mampu dan bisa dipakai oleh banyak pabrikan,
apapun mobilnya, yang penting baterainya buatan Indonesia. “Ini lebih bagus.
Kalau Indonesia bikin mobil bukan masalah, karena sebagian besar komponen sudah
ada disini, seperti ban dan kaca. Sebenarnya, EV kan hanya
ganti powertrain, engine, dan transmisi,” kata dia.
Walau begitu, Kukuh merasa industri baterai masih memerlukan waktu untuk
berkembang. Pabrik LG yang khusus memproduksi baterai EV baru dapat berproduksi
pada 2024. Setelah itu, masih diperlukan beberapa waktu lagi sampai baterai
yang dihasilkan diterima oleh pabrikan mobil.
“Baterai harus disesuaikan dengan produk yang akan
diluncurkan atau yang akan dipasang. Ini pasti makan waktu lama sampai akhirnya
bisa dirilis untuk produksi massal. Lalu, diuji juga mobilnya. Ini bisa makan
waktu setidaknya 3-5 tahun. Saya bicara dari sisi engineering ya,
kita bicara realitas,” ucap Kukuh.
Dia mengatakan, sebenarnya sudah cukup banyak insentif yang diberikan
pemerintah dalam mengembangkan industri mobil listrik di dalam
negeri. Tetapi, ada satu cara yang terbukti sukses mempercepat pengembangan
mobil listrik di negara maju, namun mustahil dilakukan di Indonesia,
yakni subdisi.
Kukuh mencontohkan, penjualan EV di Tiongkok mencapai 1 juta unit lebih dari
total pasar 28 juta unit setahun, terbesar di dunia. Penjualan EV sebesar itu
disebabkan pemerintah setempat memberikan subsidi harga mobil sebesar 50%.
Kemudian, Korsel memberikan subsidi EV sebesar US$ 15 ribu untuk satu mobil,
sedangkan Jepang 2 juta yen, jika harga EV 8 juta yen.
“Subsidi tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Tidak lucu
pemerintah menyubsidi orang yang mau beli mobil, bisa jadi masalah besar.
Namun, kenyataannya di negara maju, memang seperti itu. Jadi, kita harus
hati-hati melihatnya,” ucap dia.
Sementara itu, Direktur Corporate Affairs PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan, Toyota akan
mengembangkan mobil elektrifikasi dengan basis kendaraan yang sudah ada di
Indonesia. "Jadi, konsepnya adalah dengan mempertahankan produk yang sudah
ada di Indonesia, kemudian kita kembangkan model elektrifikasinya. Intinya,
jangan sampai komponen diimpor semua. Jadi, ada komponen impor, tapi ada juga
yang produksi lokal," kata Bob kepada Investor Daily.
Bob melanjutkan, Toyota membuka semua kemungkinan untuk
menghadirkan mobil elektrifikasi, mulai HEV, PHEV, BEV, hingga fuel cell
electric vehicle (FCEV). Toyota akan melepas produk BEV secara
bertahap mulai tahun depan. "Toyota punya semua teknologinya. Yang
penting kalau kami buat, ada yang beli," ujar dia.
Bob menilai, membentuk iklim kendaraan listrik di Indonesia
tidak mudah. "Bahkan, di negara lain, seperti Tiongkok yang sudah
bertahun-tahun masuk BEV, pasar BEV masih 3%," tutur dia.
Pemerintah, lanjut Bob, perlu mempercepat pembangunan
ekosistem EV di Indonesia, seperti SPKLU, workshop BEV, bengkel,
pembiayaan, lini produksi, hingga rantai pasokan. Sebab, menjual mobil
listrik dengan mobil biasa berbeda.
Menurut Bob, pihaknya tengah menunggu aturan turunan tentang
BEV, sehingga perusahaan bisa membuat perencanaan ke depan, termasuk juga
menyiapkan sumber daya manusia (SDM).
Berdasar survei konsultan manajemen Solidiance 2018, ada
tiga faktor penyebab rendahnya minat masyarakat Indonesia terhadap mobil
listrik, yaitu daya jelajah kendaraan listrik yang terbatas, SPKLU yang masih
minim, dan harga yang masih cenderung lebih mahal dibandingkan mobil
konvensional.
Direktur Pemasaran PT Toyota-Astra Motor (TAM) Anton Jimmy
Suwandy menerangkan, Toyota memiliki mobil elektrifikasi lengkap. Toyota juga
menggelar smart mobility project di Bali, yang menggunakan beberapa
produk BEV. Dia berharap kondisi Bali dan pariwisata kembali meningkat,
sehingga produk elektrifikasi semakin banyak digunakan dan membantu sosialisasi
mengenai elektrifikasi di Indonesia.
Anton mengungkapkan, ke depan, Toyota sudah berkomitmen tidak hanya menjual HEV
impor, tetapi juga melokalisasi di Indonesia. Pada 2022, Toyota akan memulai
memproduksi HEV di Indonesia. “Saat ini, HEV menjadi salah satu teknologi
dengan porsi besar dan dapat dikatakan paling populer di pasar Indonesia,” ucap
dia.
Anton memaparkan, TAM kali pertama meluncurkan mobil hybrid pada
2009. Butuh waktu sekitar empat sampai lima tahun untuk mencapai angka
penjualan 883 unit. Kemudian, pada tahap kedua, selama periode 2014-2019,
produk elektrifikasi Toyota yang terjual sebanyak 1.643 unit. “Yang menarik,
dalam waktu dua tahun saja, bahkan di tengah pandemi Covid-19, kami bisa
menjual 2.186 unit mobil elektrifikasi, lebih tinggi dibandingkan penjualan
selama lima tahun sebelumnya,” kata dia.
Perhatikan Semua Pemain
Sementara itu, pengamat otomotif Bebin Djuana menilai,
Indonesia wajib mengembangkan mobil elektrifikasi agar tidak ketinggalan
teknologi otomotif dan dicap negara terbelakang. Selain itu, Indonesia perlu
aktif dalam menurunkan tingkat polusi dunia dari kendaraan bermotor dan pemanasan
global.
“Jadi, proyek elektrifikasi dan BEV jangan sampai hanya jadi
basa-basi, seperti program Langit Biru,” kata dia.
Dia menilai, seluruh dunia kini mengarah ke mobil
elektrifikasi, entah itu HEV, PHEV, FCEV, hingga BEV. Itu sebabnya, pemerintah
harus memberikan kesempatan kepada semua pemain elektrifikasi, tak melulu fokus
mengguyur insentif ke BEV.
Sebab, dia menuturkan, penghematan bahan bakar minyak (BBM)
dari HEV dan PHEV juga sangat signifikan, yakni berkisar 60-70%. Itu artinya,
konsumen sangat terbantu dan dapat menekan konsumsi BBM, yang hingga kini
sebagian masih diimpor.
Dia juga menilai, sepeda motor listrik wajib dikembangkan
dengan menyasar sektor jasa angkutan daring atau ride hailing, seperti
Grab dan Gojek. Dengan begini, volume penjualan sepeda motor listrik
1.000-2.000 unit per tahun mudah dicapai.
Bebin memandang industrialisasi EV di Indonesia berjalan
dengan baik. Buktinya, Hyundai, pemain otomotif nomor satu Korea Selatan
(Korsel) akan mulai memproduksi BEV di pabrik Cikarang, Bekasi, Jawa Barat,
tahun depan. Selain BEV, pabrik itu memproduksi SUV segmen B, MPV segmen B, dan
mengekspor 50% produksi ke kawasan Asean. Hyundai mengucurkan investasi US$
1,55 miliar untuk membangun pabrik di Indonesia.
Selanjutnya, dia menuturkan, ada pemain Tiongkok, DFSK, yang
bisa saja dalam 1-2 tahun ke depan memproduksi EV di Indonesia. Sejauh ini, DFSK
sudah memasarkan BEV komersial Gelora E. Bukan tak mungkin pemain-pemain BEV
Tiongkok lainnya menyusul, mengingat negara itu adalah pusat EV dunia.
Baru-baru ini, mencuat kabar Wuling bakal memproduksi Hongguang Mini EV di
Indonesia tahun depan.
Dia menambahkan, pabrikan Jepang untuk saat ini memang lebih
fokus ke HEV dan PHEV. Namun, mereka lebih siap melokalisasi mobil hibrida di
Tanah Air, karena pemain lama. Mereka tinggal mengonversi lini produksi mobil
pembakaran internal ke hibrida.
“Memang, ada pemain Jepang, seperti Toyota yang fokus ke
FCEV hidrogen. Namun, jalan FCEV masih panjang, meski tidak ada salahnya kita
bermimpi menuju ke sana, karena produk ini sangat ramah lingkungan,” kata dia.
Kemudian, Nissan sudah memasukkan BEV Leaf ke Indonesia.
Memang, Nissan sudah menutup pabrik perakitan di Purwakarta dan “menumpang”
produksi Livina di pabrik perusahaan terafiliasi Mitsubishi, Cikarang, Bekasi.
Tetapi, peluang lokalisasi masih terbuka.
Dia menambahkan, masuknya dua pemain baterai dunia CATL dan
LG juga memuluskan industrialisasi EV di Indonesia. Sebab, baterai
menyumbangkan sekitar 50% harga jual. Itu artinya, jika baterai dilokalisasi,
harga EV bisa turun di bawah Rp 500 juta dibandingkan saat ini Rp 600 jutaan
untuk model seperti Hyundai Ioniq, Kona EV, dan Nissan Leaf. Adapun harga EV
besutan Tesla Rp 1 miliar lebih, karena kena tarif bea masuk (BM) impor tinggi.
Dia memprediksi pasar EV domestik bisa dengan mudah mencapai
10.000 unit per tahun, jika harganya berkisar Rp 400 jutaan. Demikian pula
dengan mobil hibrida, sehingga pemerintah juga patut memperhatikan perkembangan
mobil jenis ini, tak melulu ke EV. (jn)
Sumber: https://investor.id/bumee/264843/mobil-listrik-senjata-turunkan-emisi-karbon-29
No comments:
Post a Comment