Gambar 1 Perkembagan Instalasi Panel Surya di
ASEAN/theaseanpost.com |
Terdapat kesalahan stigma mengenai angka elektrifikasi
Indonesia yang terlihat tinggi, yaitu 99,28% pada kuartal I tahun 2021. Namun,
angka tersebut hanya mewakili rasio berapa banyak rumah yang terhubung ke
jaringan listrik (grid) tanpa melihat kualitas distribusinya. Oleh karena itu,
terdapat lebih dari 500 desa yang tidak teraliri listrik dengan baik atau hanya
sekitar enam jam per hari karena keterbatasan pasokan listrik yang memadai dan
lebih dari 90% di antaranya merupakan masyarakat yang tinggal di daerah 3T
(tertinggal, terdepan, dan terluar).
Keterbatasan pasokan listrik yang cukup besar membuat
produktivitas masyarakat menurun, terutama bagi masyarakat yang mata
pencahariannya sebagai petani, peternak, dan lain-lain. Ironinya, sumber energi
utama yang mengaliri listrik ke rumah warga berasal dari bahan bakar diesel.
Padahal, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menghasilkan biaya energi yang
jauh lebih tinggi akibat dari kinerjanya yang tidak efisien.
Selain itu, aksesibilitas yang sulit untuk ke lokasi 3T juga
membebani biaya operasi dan pemeliharaan PLTD yang menyebabkan membengkaknya
biaya investasi yang besar akibat tingginya nilai operating expenses (OPEX).
Ditambah lagi jejak karbon yang dihasilkan oleh PLTD tidak selaras dengan
Persetujuan Paris yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai
Perubahan Iklim pada bulan Oktober 2016 yang menargetkan pengurangan emisi karbon
sebesar 29% pada tahun 2030.
Pada tahun 2017, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), telah membuat kebijakan berupa Rencana
Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan pengembangan Energi Baru
Terbarukan (EBT) minimal sebesar 25% pada tahun 2023 dan 31% pada tahun 2050
dari total bauran energi primer guna mendukung 100% elektrifikasi Indonesia
[4].
Mengingat banyaknya potensi EBT di Indonesia, seperti surya
(207,8 GW), hidro (75 GW), bayu (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi
(23,9 GW), dan samudera (17,9 GW), target tersebut sangat mungkin untuk
dicapai. Tetapi dari potensi EBT yang ada, baru 11% kapasitas yang sudah
dimanfaatkan, menandakan masih banyak "pekerjaan rumah" bagi
Indonesia untuk terus meningkatkan pembangkit listrik bersumber dari EBT.
Indonesia bisa berkaca dari negara tetangga, yaitu Vietnam.
Vietnam memperlihatkan "ledakan" yang luar biasa
dalam mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ledakan tersebut
diakibatkan Perdana Menteri Vietnam mengeluarkan keputusan untuk menurunkan
feed-in tariff (FIT) untuk PLTS atap menjadi Rp1.190/kWh, PLTS dipasang di
tanah Rp1.090/kWh, dan floating PV atau PLTS terapung menjadi Rp1.096/kWh.
Selain itu, ada kebijakan Pemerintah Vietnam yang memberikan fleksibilitas
untuk memobilisasi pendanaan dari semua sumber yang ada, termasuk pendanaan
dari asing, dan membebaskan pajak penghasilan selama empat tahun pertama.
Terlihat dari Gambar 1, dengan adanya FIT yang diberikan oleh pemerintah Vietnam, pengembang proyek PLTS menjadi tertarik dan berlomba-lomba untuk membangun PLTS akibat market yang besar karena kebijakan tersebut. Dibandingkan dengan Indonesia, pada tahun 2019 Vietnam berhasil memasang PLTS sebesar 4,45 GW melonjak sangat besar dibandingkan tahun 2018.
Tantangan dan Strategi Pengembangan EBT Indonesia Berdasarkan Skala Prioritas
Tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah geografis
Indonesia yang berupa kepulauan, sehingga sulit untuk menjangkau daerah 3T.
Daerah 3T merupakan daerah yang krusial dan menjadi skala prioritas untuk
dipenuhi kebutuhan listriknya karena sulit dijangkau oleh grid PLN. Dilihat
dari Gambar 2, salah satu program pemerintah yang sudah jalan khusus daerah 3T
adalah Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). LTSHE merupakan sebuah kit
lampu yang diberikan gratis oleh pemerintah, tetapi hanya merupakan program
praelektrifikasi tanpa memikirkan kualitas listrik keseluruhan. Maka, tidak
tepat untuk program LTSHE dihitung sebagai rasio elektrifikasi.
Gambar 2 Lampu Tenaga Surya Hemat
Energi/ditjenppi.menlhk.go.id |
Untuk menyelesaikan permasalahan kualitas listrik yang buruk
di daerah 3T, PLTS merupakan solusi yang paling efektif. Terlihat pada Gambar
3, di Queensland, Australia, ABB telah membuat sistem PLTS portabel yang bisa
dibongkar-pasang dengan waktu kurang dari sehari. sistem PLTS portabel
tersebut, dikombinasikan dengan baterai dan disambungkan ke existing power
generation (di Indonesia biasanya PLTD atau grid PLN) dan menjadi sebuah sistem
mikrogrid interaktif.
Solusi PLTS portabel sangat cocok diterapkan di Indonesia,
khususnya 3T karena jika pemerintah memutuskan untuk memenuhi kebutuhan listrik
pada daerah tersebut menggunakan grid, PLTS tersebut bisa dengan mudah
dibongkar dan dipindahkan ke daerah lain yang membutuhkan. Tetapi, untuk
memaksimalkannya, perlu dilakuakan beberapa penyesuaian.
Guna mengurangi operating expenditure (OPEX) agar biaya
pokok penyediaan (BPP) listrik menjadi lebih murah, perlu adanya sistem
Internet of Things (IoT) yang mengontrol operasi PLTD, baterai, dan PLTS.
Dengan adanya sistem IoT, operasi pengisian daya baterai untuk cadangan energi
bisa dilakukan secara otomatis dan jika grid PLN sedang tidak bisa menyuplai
listrik, baterai yang ada bisa tetap mengalirkan energi listrik ke desa
tersebut.
Pembangunan PLTS juga bisa dilakukan di beberapa desa
tetangga, sehingga bisa dibuat sebuah sistem jika terjadi masalah pada
pembangkit dan penyimpanan energi di desa A, cadangan energi yang tersedia pada
desa B bisa dialirkan ke desa A agar desa A masih bisa beraktivitas. Sistem
tersebut mencegah terjadinya blackout atau memiliki redundansi yang tinggi.
Gambar 3 PLTS Portabel ABB/new.abb.com |
Dengan memaksimalkan potensi solusi ini pada seluruh daerah
3T, bukan hanya bisa menggapai target 100% rasio elektrifikasi Indonesia tetapi
juga meningkatkan kualitas listrik yang diterima oleh masyarakat.
Sumber: https://www.kompasiana.com/jasonchrst/6150222606310e7a1a7c8f82/peluang-penyempyurnaan-rasio-elektrifikasi-indonesia?page=all#section1
No comments:
Post a Comment