Warga bergotong-royong mendirikan kincir angin tambahan di kawasan turbin angin di Desa Kamanggih, Pulau Sumba, 19 Maret 2014.(AFP PHOTO / ROMEO GACAD) |
Pembiayaan energi terbarukan di Indonesia makin terbuka luas
seiring meningkatnya komitmen negara maju membantu transisi energi terbarukan
di negara berkembang.
Pembiayaan tersebut membutuhkan dukungan kebijakan
pemerintah yang dapat meminimalisasi risiko pendanaan dan meningkatkan minat
investasi ke energi terbarukan.
Hal tersebut diungkapkan penasehat Deutsche Gesellschaft fur
Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Deni Gumilang pada hari keempat Indonesia
Energi Transition Dialogue (IETD) 2021 pada Jumat (24/09/2021).
Deni mengatakan, saat ini sudah tersedia berbagai macam
instrumen pengurangan risiko pendanaan energi terbarukan untuk Indonesia.
Instrumen itu di antaranya adalah penyediaan jaminan, green
bond alias sukuk hijau, dan pinjaman lunak.
Namun, menurut Deni, instrumen pengurangan risiko ini perlu
didukung dengan kebijakan dan regulasi yang dapat mengurangi risiko investasi
energi terbarukan.
Salah satu kebijakan dan regulasi yang mendukung adalah
penetapan target energi terbarukan yang jelas.
“Selama ini masih ada banyak perbedaan target penurunan
emisi di dalam pemerintah. Jika ada konsistensi dalam target, maka kerja sama
antara seluruh pemangku kebijakan akan lebih mudah dijalankan,” tutur Deni.
Deni menambahkan, Indonesia perlu memperhatikan dukungan
teknis pembangunan energi terbarukan yang terintegrasi, menciptakan iklim
perizinan yang mendukung proyek skala kecil, dan meningkatkan kredibilitas
proyek energi terbarukan.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT SMI, Edwin
Syahruzad, mengatakan bahwa pihak perusahaan sudah menyediakan proyek
pengurangan risiko dengan pemberian dukungan teknis.
Hal itu memudahkan pengembang untuk mengakses teknologi dan
pembiayaan suatu proyek energi terbarukan.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Faisal Basri
menyampaikan, energi terbarukan dibutuhkan untuk mendorong perkembangan ekonomi
Indonesia.
Sebab, apabila tidak segera dilakukan dekarbonisasi,
Indonesia diprediksi mengalami defisit energi yang cukup besar.
“Kalau kita tidak segera melakukan dekarbonisasi maka tahun
2040 kita akan defisit energi sebesar 80 miliar dollar AS,” kata Faisal.
Karena defisit energi, Indonesia akan lebih banyak mengimpor
daripada ekspor energi karena kebutuhan dalam negeri akan melonjak.
“Oleh karena itu, kita butuh rencana jangka panjang makro
ekonomi dengan cara dekarbonisasi lebih cepat,” tutur Faisal.
Menurut Faisal, kenyataannya selama ini, kebijakan
pemerintah belum berpihak pada energi terbarukan.
Hal tersebut tercermin dari APBN yang masih memberi subsidi
ratusan triliun rupiah untuk energi fosil.
Faisal berpendapat pemerintah, perlu mengedepankan kebijakan yang nyata untuk mendukung riset energi terbarukan dan memastikan perkembangan industri energi terbarukan agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen.
Sumber: https://www.kompas.com/global/read/2021/09/27/120200870/pembiayaan-energi-terbarukan-butuh-dukungan-kebijakan-nyata-pemerintah?page=all
No comments:
Post a Comment