https://unsplash.com/photos/8S2RmC-POCU |
Kita tahu bahwa konsep yang sederhana yang dimiliki oleh pembangkit listrik tenaga surya atau solar cell adalah proses pengubahan bentuk energi dari energi tenaga surya menjadi energi listrik. Tenaga surya/matahari, merupakan suatu energi yang ditimbulkan dari alam. Dewasa ini, matahari sudah banyak digunakan untuk memasok daya listrik pada satelit komunikasi melalui solar cell. Aktivitas solar cell dapat menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang tidak terbatas langsung diambil dari matahari sesuai dengan kapasitas alat yang diinstalasikan guna pemenuhan kebutuhan kita sehari-hari. Melalui konsep ini, sering digaungkan bahwa sistem solar sel sering dikatakan bersih dan ramah lingkungan.
Namun, perlu kita ketahui di samping solar panel skala
besar, ada juga solar panel skala perumahan yang ukurannya relatif kecil. Di
beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang, instalasi perangkat ini
mulai meningkat. Pada tahun 2018 tercatat sudah ada kurang lebih 2 juta rumah
tangga di Amerika Serikat yang menggunakan panel surya sebagai pembangkit
listrik utama. Jika kita dilihat dari keseluruhan jumlah rumah di Amerika
Serikat yang kini mencapai angka sekitar 90 juta, memang jumlah tersebut tampak
kecil, tidak sampai 10% dari total rumah tangga. Meski demikian, angka ini
sangat menjanjikan dibanding di Indonesia.
Meski di banyak negara penggunaan teknologi rooftop solar berkembang
pesat dalam satu dekade terakhir, di Indonesia pemanfaatan teknologi ini masih
lambat dengan pertumbuhan instalasi yang rendah, khususnya penetrasi pada
sektor rumah tangga. Padahal, kita tahu bahwa Indonesia memiliki potensi energi
surya yang cukup tinggi. Masyarakat Indonesia masih banyak memilih rumah tapak
sebagai bangunan tempat tinggal, sehingga potensi penggunaan rooftop solar juga
tinggi. Hasil perhitungan IESR pada tahun 2015 menunjukkan adanya potensi
teknis 194 – 655 GWp rooftop solar untuk seluruh rumah di Indonesia. Dari
potensi teknis yang tinggi ini, terdapat potensi pasar realistis sebesar 17,8%
yaitu potensi yang mungkin dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan kemampuan
finansial calon pengguna.
Pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai solar PV dapat
kita buktikan dengan survei yang dilakukan oleh IESR di wilayah Jabodetabek dan
Surabaya karena mayoritas responden di sekitar Jabodetabek dan Kota Surabaya
telah mengenal teknologi rooftop solar. Di Jabodetabek, 1 dari 2 orang pernah
mendengar tentang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan rooftop solar. Di
kota Surabaya, jumlahnya lebih banyak, 7 dari 10 orang mengenal istilah rooftop
solar. Perbedaan yang cukup signifikan ini memungkinkan terjadi dikarenakan
studi pasar di Surabaya dilakukan setelah inisiatif Gerakan Nasional Sejuta
Surya Atap (GNSSA) telah berjalan selama lebih dari satu tahun, cukup
meningkatnya ulasan mengenai rooftop solar di beragam kegiatan dan media, serta
telah diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 tentang aturan
penggunaan rooftop solar untuk pelanggan PLN.
Hingga saat ini, ada beberapa faktor pemantik (enabling
factors) yang belum ada dalam ekosistem percepatan pemanfaatan rooftop solar untuk
masyarakat, seperti berikut:
Informasi
- Terbatasnya informasi yang menyeluruh dan objektif
- Terbatasnya kegiatan sosialisasi yang masif dan konsisten
Kebijakan yang mendukung
Kebijakan nasional dan daerah belum menyeluruh dan bersifat
mempercepat (akselerasi), mencakup dan tidak terbatas pada kemudahan izin dan
pemasangan, perlindungan konsumen, nilai transaksi kredit listrik yang adil,
dan skema pembiayaan yang memudahkan masyarakat.
Insentif
Belum adanya model insentif yang diberikan pada masyarakat
yang menggunakan rooftop solar dalam bentuk apapun.
Dengan adanya permasalahan solar panel di Indonesia yang
masih belum berkembang pesat disebabkan adanya beberapa pertimbangan yang
diwakilkan oleh responden di wilayah Surabaya dan Jabodetabek.
No comments:
Post a Comment